Rabu, 05 Oktober 2011

Guru Mansyur

Guru Mansyur

Guru Mansur, Jembatan Lima (1878-1967)

Guru Mansur dari Kampung Sawah, Jembatan Lima adalah seorang Guru sejati. Beliau dapat dikatakan satu generasi dengan Guru Mugni dari kampung Kuningan. Kedua tokoh ini pada zamannya disebut orang Betawi sebagai paku Jakarta. Generasi Guru Mansur merupakan pelanjut ulama Betawi generasi Guru Mujtaba dari kampung Mester. Guru Mujtaba Mester adalah syaikhul masyaikh, guru dari segala guru
Guru Mansur juga mempunyai hubungan biologis dengan trah Mataram dari garis ayah dapat ditemukan hubungan tersebut. Guru Mansur adalah putera Imam Abdul Hamid bi Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram.
Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah ketika berusia 16 tahun bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Beliau berguru kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu Guru Mansur juga berguru denganSayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al Hadromy dan Syekh Ali al-Mukri.
Setelah mukim selama 4 tahun, Guru Mansur kemudian kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Sekembalinya di kampung halamannya, Guru Mansur mulai membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah belia mulai mengenal tokoh-tooh Islam seperti Syekh Ahmad Syurkati dan KH Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.
Guru Mansur adalah pengajur kemerdekaan Indonesia. Beliau menyerukan agar bangsa Indonesia memasang atau mengibarkan bendera merah putih.  Beliau menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal, rempuk! Yang artinya musyawarah (perkataan ini kemungkina besar  maksudnya sama dengan rembuk). Beliau menuntut agar hari Jum’at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam. Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama) Guru Mansur melancarkan protes keras sehingga akhirnya pembongkaran masjid tersebut dibatalkan.
Pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan de facto Belanda, Guru Mansur sering berurusan dengan  Hoofd Bureau kepolisian di Gambir karena beliau memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah. Meskipun di bawah ancaman bedil NICA/Belanda, Guru Mansur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih yang berkibar di menara masjid.
Guru Mansur pernah dibujuk kaki tangan Belanda agar mengubah sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda dan sebaliknay diminta agar menurut saja apa yang dikehendaki Belanda seraya disodorkan setumpuk uang kepadanya, namun bujukan itu ditolak mentah-mentah oleh Guru Mansur. Dengan suara lantang, Guru Mansur berkata, “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Beliau adalah Guru yang amat dihormati bukan saja oleh masyarakat Betawi tetapi juga oleh kalangan yang lebih luas. Tokoh-tokoh Betawi seperti M. Natsir dan KH. Isa Anshary sering sekali berkunjung ke kediaman Guru Mansur. Baik M. Natsir maupun KH. Isa Anshary bila berkunjung ke kediaman Guru Mansur ditemani oleh Lurah Tanah Sereal M. Ramdhan.
Di masa hidupnya, Guru Mansur telah menulis 19 buku berbahasa Arab yaitu:
  1. Sullamunnarain
  2. Khulasatuljadawil
  3. kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf
  4. Mizanul I’tidal
  5. Washilatuth thullab
  6. Jadwal dawairul falakiyah
  7. Majmu’ arba rasail fi mas’alatil hilal
  8. Rub’ul mujayyab
  9. Mukhtasar iktima’unnairain
  10. Tajkirotun nafi’ah fisihati ‘amalissaum wal fitr
  11. Tudhul adillah fissihatissaum wal fitr
  12. Jadwal faraid
  13. Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum
  14. I’rabul jurumiyah annafi’ lil mubtadi
  15. Silsilatissanat fiddin wa ittisoluha sayyidul musalin
  16. Tashriful abwal limatan bina
  17. Jidwal kiblat
  18. Jidwal au kutussolah
  19. Tathbiq amalul ijtima’ wal khusuh wal kusuf
Guru Mansur wafat pada hari Jum’at pada tanggal 12 Mei 1967 pukul 16.40. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Al Mansuriah Kampung Sawah Jembatan Lima.


Sumber:
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata, Hal: 200-206
KH. Muhammad Mansyur Al-Batawi merupakan tokoh yang dipandang sebagai guru sejati oleh masyarakat Betawi. Ia sezaman dengan Guru Mughni dari Kuningan. Kedua tokoh inilah yang dikatakan oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” serta merupakan generasi Guru Mujtaba dari kampung Mesteer. Guru Mansyur (1878-1967), merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan Belanda. Guru Mansyur memperdalam ilmu agamanya di Mekah selama empat tahun. Kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan disinilah beliau berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Beliau orang yang berhasil menggagalkan pembongkaran masjid Cikini di JI. Raden Saleh tahun 1925. Beliau meninggal hari Jum’at 12 Mei 1967 dan dimakamkan di halaman masjid Al Mansyuriah Kampung Sawah, Jembatan Lima. Tercatat ada 19 karya yang telah dihasilkannya diantaranya: Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf, Tajkirotun nafi’ah fisihati’amalissaun wal fitr, Jadwal faraid serta Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum. (Ensiklopedi Jakarta)

Guru Mansyur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
* Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain:
* Sullamun Nayyiroin
* Khulasatul Jawadil
* Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
* Mizanul I’tidal
* Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
* Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
* Rub’ul Mujayyab
* Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
Ilmu Falak & Perlawanan terhadap Penjajah
Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.
Lebaran Tong lebaran
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan
Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.
Guru Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya.
Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas Guru dato’. Dato’ lebih dari Guru, dan Dato’ menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah Guru mu’alim. Mu’alim ilmunya masih di bawah Guru. Di bawah Mualim ustadz. Ustadz pengajar pemula agama. Di bawah Ustadz guru ngaji. Guru ngaji mengajar mengenal huruf Arab.
Guru Mansyur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian.
Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenasahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar