Mengenal lebih dekat sosok Ibnu Rusdy
Oleh : Radinal Mukhtar Harahap
Bagi anak santri, sosok Ibnu Rusyd merupakan sosok yang dikenal sebagai seorang fuqoha’ dengan karyanya yaitu bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid. Dalam buku ini, setiap persoalan fiqih dikaji dan ditela’ah dengan empat kaca mata madzhab; Syafi’I, Hambali, Hanafi, dan juga Maliki. Oleh karena itulah, Ibnu Rusyd yang selama ini “ada” di pesantren-pesantren di seluruh tanah air adalah seorang faqih.
Disinilah letak urgensitas ijtihad yang bersifat pluralis, yang dapat menjangkau kepentingan masyarakat pada umumnya. (halaman 17)
٭٭
Nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd. Ia dilahirkan di Cordova Spanyol pada tahun 520 H/1126 M. di Barat, Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averrous. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang dikenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang dengan sebutan "Ibnu Rusyd Nenek"(al-Jaddah) adalah kepala hakim di Cordova.
Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibnu Rusyd kecil haus ilmu pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar biasa. Pada usia anak-anak saat itu, Ibnu Rusyd sudah mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti Al-QurĂ¡n, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksak seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Karena itulah, ketika Ibnu Rusyd tumbuh dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat tempat yang terbaik di sisi khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur, Amir ketiga dinasti Muwahhidun 1184 H. Ia pernah mendapat amanat sebagai qadil (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadlil qudlat (hakim agung) di Cordova. Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibnu Rusyd. Ada juga sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibnu Rusyd hingga diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak diantara karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat menyakinkan khalifah Al-Mansur tentang kebersihan dari Ibnu Rusyd dari fitnah dan tuduhan tersebut, maka ia baru dibebaskan. Akan tetapi tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan seperti semula kembali terulang. Sebagai akibatnya, pada kali ini Ibnu Rusyd diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko). Di sanalah kemudian Ibnu Rusyd menghabiskan sisa-sisa umurnya hingga datangnya ajal menjemputnya pada tahun 1198 M.
٭٭
Buku setebal 300 halaman ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan tokoh-tokoh rusydian, baik yang memuji maupun yang “mengkritik” tentunya demi kemajuan. Tulisan tokoh-tokoh seperti Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, Muhammad ‘Atif ‘Iraqi, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi diterjemahkan dengan apik oleh Muhammad Zainal Arifin dan Maskuruddin Hafidz. Ditambah dengan tulisan dua intelektual muda muslim yang sedang belajar di Universitas al-Azhar yaitu Rabith Qoshidi dan juga Ahmad Ginandjar Sya’ban.
٭٭
Tulisan pertama berasal dari Muhammad Arkoun dengan judul Ibnu Rusyd: Pionir Rasionalitas dan Imam Progresif. Tulisan ini diawali dengan perkenalan Ibnu Rusyd yang digandengkan dengan Ibnu Maimun sebagai dua tokoh penting yang menguasai percaturan pemikiran keagamaan dan filsafat pada abad ke-12. keduanya dinilai sangat kesohor karena tiga hal. Pertama, ketajaman pemikiran dan keistimewaan karya-karyanya. Kedua karena kontinuitas, konsistensi dan dedikasinya bagi komunitas masing-masing. Ketiga, kharisma keduanya yang sangat menonjol dan berpengaruh di dunia Barat-Kristen. (halaman 31)
Selanjutnya, Muhammad Arkoun menjelaskan tentang konteks sosial dan politik ulama fiqih. Dalam hal ini, Arkoun juga konteks sosiologis tentang kegagalan dan kejayaan pemikiran Ibnu Rusyd itu sendiri. Beliau menuliskan bahwa semenjak abad 13, pemikiran Ibnu Rusyd tidak lagi diapresiasi oleh masyarakat Arab-Islam. Ironisnya, pada saat yang sama, filsafat Ibnu Rusyd di Eropa justru mendapat sambutan luar biasa karena keistimewaannya. (halaman 42). Diakhir tulisannya, beliau menyarankan untuk mengembalikan urgensitas pemikiran Ibnu Rusyd itu sendiri, baik di dunia arab maupun di barat. Ia mengatakan bahwa peran pemikiran Ibnu Rusyd dalam nalar filsafat, yang memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia, sangat signifikan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh filsuf arab-klasik. (halaman 50)
٭٭
Tulisan selanjutnya yang berjudul Membedah Wacana Ibnu Rusyd, Nashr Hamid Abu Zayd menghidupkan kembali “perseteruan” antara Ibnu Rusyd dan juga al-Ghazali. Hal ini berawal dari statemen Syaikh Amin al-Khulli yang mengatakan bahwa ketika satu pemikiran menemukan ruang kosong nan hampa di alam akal-pikiran, maka ia akan menancap diri begitu kuat sehingga sulit dicabut dan susah untuk dikeluarkan dari akal, bagaimanapun rusak dan palsunya pemikiran tersebut (halaman 51). Dalam hal ini, Abu Zayd mengatakan bahwa Ibnu Rusyd tampil sebagai kreator pencerahan bagi kejumudan berfikir. Ia, Abu Zayd, menuliskan bahwa Ibnu Rusyd merasa prihatin sekali atas kejumudan berfikir yang akhirnya menghasilkan kesalahan-kesalahan fatal dan kerugian besar yang menimpa syari’at. Ini dapat dibuktikan dengan teriakan penutup dalam buku Fashal Maqal yaitu “sesungguhnya jiwa, akibat kecatatan syariat yang diakibatkan oleh hawa-hawa nafsu yang rusak dan keyakinan-keyakinan melenceng, pasti akan seding dan menderita”.
٭٭
“Tak berlebihan jika diaktakan bahwa era puncak filsafat Arab ada di tangan filsuf Ibnu Rusyd. Demikian itu karena beberapa alasan, terutama karena kesadaran kritis yang dimilikinya. Kesadaran kritis seperti inilah yang amat disayangkan tidak kita temukan pada diri filsuf Arab yang hidup sebelumya, baik di Arab-Timur maupun di Arab-Barat. Kritik mereka hanya bersifat parsial, dalam artian diarahkan kepada satu filsuf atau pemikiran tertentu, tidak mencakup kepada filsuf-filsuf dan pemikiran-pemikiran lainnya. Sedangkan Ibnu Rusyd, mengkritik seluruh filsuf mulai dari kalangan teolog islam seperti al-Ghazali maupun kalangan tekstualis, al-Farabi, Ibnu Shina, dan juga kalangan sufi yang berorientasi pada pemikiran dan filsafat lainnya.”
Pengantar Muhammad ‘Athif ‘Iraqi, sebagaimana diatas, telah memperlihatkan bahwa ‘Athif begitu menaruh perhatian pada metode Nalar Kritis Ibnu Rusyd. Dalam tulisannya, pemikir muslim mesir dan pakar pemikiran Ibnu Rusyd ini, membahas secara mendalam tentang nalar kritis dalam filsafat Ibnu Rusyd. Ia mengatakan bahwa gaung filsafat Ibnu Rusyd yang menggema di daratan eropa disebabkan oleh kesadaran kritis dan filsafatnya yang berasal penuh pada akal. Karena itu, Ibnu Rusyd dikenal dengan sebutan “filsuf akal” dalam islam disamping dikenal juga sebagai peringkas dan komentator karya-karya utama Aristoteles serta penyeru pada penalaran rasional-argumentatif melebihi penalaran dialektis dan penalaran retoris, (halaman 108)
Beliau, ‘Athif, mengatakan bahwa ada lima tiang penyangga dari metode kritis Ibnu Rusyd. Pertama adalah keharusan untuk tidak berhenti di hadapan bunyi literal ayat-ayat al-Qur’an, tetapi melakukan penakwilan atasnya. Kedua, penguakan berbagai kesalahan metode sufi. Ketiga, pembeberan setiap kekeliruan kalangan teolog islam terutama Asy’ariyah. Keempat, pengaruh kuat Aristoteles dalam diri Ibnu Rusyd. Dan Kelima, Rasionalitas sebagai tiang penyangga paling kokoh bagi penalaran. (halaman 153-155)
٭٭
Tulisan selanjutnya adalah tulisan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri yang mengetengahkan permasalahan gagasan transformasi dalam diri Ibnu Rusyd. Keahlian Ibnu Rusyd dalam bidang akidah, syari’ah, filsafat, kedokteran, ilmu pengetahuan, bahasa, dan politik membuktikan bahwa sosok Ibnu Rusyd adalah pribadi yang sadar akan kejumudan dan regresifitas kebudayaan Arab-Islam. Tapi sayangnya, realitas pemikiran dan kebudayaan di dunia Arab-Islam dimasa Ibnu Rusyd tak sanggup menggendong gagasan tersebut. (halaman 157-160)
‘Abid menjelaskan juga tentang kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip yang dianut Ibnu Rusyd dalam nalar kritisnya. Pertama, menghindari maksud mengacaukan dan memelintir pendapat lawan atau mematahkan sebagian pendapatnya dengan pendapatnya yang lain. Kedua berupaya sekuat tenaga memahami pendapat-pendapat lawan beserta referensinya dan memegang erat-erat spirit keadilan dan sikap tidak memihak. Ketiga yaitu mengakui eksistensi selain dirinya dan tidak menyepelekan pendapat lawan yang berguna bagi orang lain. Keempat adalah memegang prinsip “salah adalah tabiah dasar manusia, selain bahwa manusia tak bisa terlepas dari berbuat keliru. Kelima, memegang teguh amanah ilmiah. (halaman 162-165)
Yang menarik dari tulisan ini, ‘Abid menjelaskan syarat yang diharuskan Ibnu Rusyd untuk mendalami filsafat yaitu fitrah yang unggul dalam artian kesiapan nalar. Kedua tertib dalam artian mempelajari filsafat secara berurutan melalui ilmu-ilmu cakupannya. Selanjutnya keadilan syar’i, keutamaan intelektual, dan terakhir keutamaan akhlak. (halaman 167-169)
٭٭
Tulisan Hasan Hanafi dengan judul Ambiguitas Pemikiran Ibnu Rusyd adalah tulisan dari para tokoh pemikir yang terakhir. Secara ringkas, Hasan Hanafi dalam tulisannya ini mempertanyakan tentang sikap Ibnu Rusyd dalam kehidupannya. Hermeuneutis ataukah literalis? Taqoddumy ataukah Salafy? Malikian ataukah Hanbalian? Rasionalis ataukah Literalis? Anatator ataukah Kreator? Filsuf ataukah Teolog? Mu’tazilian ataukah Asy’arian? Teolog ataukah Hakim? Hakim ataukah Ilmuwan? Atheis ataukah Theis? Oposan ataukah Pro-Kekuasaan? Titik Permulaan ataukah Titik Penghabisan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dihadirkan dalam tulisan 47 halaman ini (halaman 171-217)
٭٭
Dua tulisan terakhir berasal dari dua intelektual muda Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Mesir. Ahmad Ginandjar Sya’ban dengan Ibnu Rusyd, Averroisme dan Madzhab Rusydiyyah dan Robith Qoshidi. Inti dari dua tulisan ini adalah kepedulian untuk melakukan pembaruan dari dalam, yang satu sisi peduli terhadap tradisi dan disisi lain juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan kritik. Dengan demikian, mereka berusaha untuk melakukan diskusi dalam pembaharuan.
٭٭
Dengan kemampuan seperti ini, tidak layak bagi saya untuk mengatakan bahwa buku ini “haram” untuk dibaca. Bahkan buku-buku seperti inilah yang akan menambah khazanah-khazanah pemikiran kaum muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar