Sabtu, 08 Oktober 2011

STUDI NAHWU MAZHAB KUFAH


STUDI NAHWU MAZHAB KUFAH

Sekilas Tentang Kufah
Setelah panglima perang kaum Muslimin (Abu ‘Abid ats-Tsaqafi) terbunuh di tangan Persia, maka khalifah Umar Ibn Khatab menugaskan Sa’d Ibn Abi Waqash yang bekerja di Hawazan sebagai gantinya. Maka ia pun segera memimpin 19.000 pasukan untuk bertempur hingga mereka berhasil menaklukkan Persia. Untuk menentukan tempat tinggal bagi mereka, Sa’d memilih sebuah tempat di tepian sungai Efrat yang terkenal sangat subur tanahnya, sebuah tempat yang hujan banyak turun dan mengguyur dengan sangat deras, memiliki banyak sumber mata air yang memancar dari sungai seperti suburnya rerumputan yang tumbuh di sana, juga tempat pohon korma tumbuh berjajar di sepanjang tepian sungai Efrat. Mayoritas penduduk Kufah adalah para mantan tentara dari Bani Abas. Kufah didirikan oleh Sa’d ibn Abi Waqash pada tahun 16-17 H, atau antara 2-3 tahun setelah berdirinya kota Bashrah.

Letak Geografis Kufah
Kufah terletak di tepian lembah sungai Efrat yang terkenal dengan kesuburan tanahnya. Di sebelah Timur berbatasan langsung dengan sungai Efrat, di sebelah Selatan berbatasan dengan Najf, dan di sebelah Barat dan Utaranya berbatasan langsung dengan padang pasir yang sangat luas dan membentang hingga ke kota Syam. Melihat kesuburan tanah di kota Kufah dan terbentangnya rerumputan, bunga-bungaan, dan sungai-sungai, penduduknya pun beramai-ramai mendirikan tempat tinggal yang nyaman untuk membangkitkan kejernihan jiwa dan kepekaan rasa dan imajinasi. Kesuburan ini tidak hanya di Kufah saja, tetapi juga meliputi kota-kota di sekitarnya, seperti Hairah, Najf, Khirnik, Sadir, Ghariyan, dan lain-lain.

Penamaan Kota Kufah
Dalam kamus al-Muhith disebutkan bahwa Kufah pada mulanya adalah tanah yang berwarna kemerahan dengan bentuk yang membulat, atau disebut juga sebagai setiap tanah yang dilingkupi oleh kesuburan. Versi lain tentang penamaan Kufah ini menyebutkan bahwa orang-orang Arab yang datang dari Najf di sebelah Utara Kufah telah menemukan tanah yang subur ini dan mereka lalu menamainya dengan nama Kufah. Kamudian Sa’d Ibn Abi Waqash menyebut nama ini ketika mengirim surat kepada Umar Ibn Khatab. Yaqut al-Hamawi menyebut Kufah karena letak geografisnya, dan karena setiap tanah atau lahan yang dilingkupi oleh kesuburan adalah Kufah. Versi yang paling mendekati kebenaran yaitu saat usai penaklukan atas negeri ini, kaum Muslimin yang sedang mencari tempat untuk berlindung tertimpa penyakit cacar, kemudian mereka berbondong-bondong mencari tempat yang subur. Saat menemukan tempat ini, Sa’ad pun berkata kepada mereka: “Takuufuu...!, atau berkumpullah..berkumpullah...!
Pembentukan Kota Kufah
Penduduk Kufah yang sebagian besar berasal dari bangsa Arab di sebelah Selatan Jazirah Arab terdiri dari 20.000 orang. 12.000 di antaranya dari Yaman, dan 8.000 sisanya berasal dari Madlariy. Penduduk Arab yang pada mulanya menjadi penduduk Kufah adalah para pejuang penakluk negeri ini setelah mereka menaklukkan Persia. Sejak saat itu, Kufah menjadi kota tempat berkumpulnya para pemimpin kabilah, para panglima perang, dan kota para pejuang. Ketika kemudian orang-orang dari segala penjuru telah berkumpul di sana, Kufah menjadi kota dengan berbagai unsur baik Arab maupun non Arab, dan menjadi kiblat yang paling dianut oleh dunia Arab pada umumnya. Menjelang abad ke-4 H, penduduk Kufah berprofesi sebagai pedagang, petani, berindustri, dan banyak di antara mereka yang menjadi ahli-ahli bahasa (linguis).
Unsur budaya asing terkuat di Kufah adalah budaya Persi. Persi merupakan kelompok penduduk terbesar yang tinggal di Kufah sejak didirikannya negeri ini. Mereka bertani, mengolah lahan pertanian, dan 4.000 orang di antaranya menjadi tentara dan pejuang. Sebanyak 20.000 orang dari Persi ini berbondong-bondong masuk Islam di bawah pimpinan al-Mukhtar Ibn Abi ‘Abid. Unsur terkuat ke dua adalah unsur Siryani. Mereka adalah kaum Muslimin yang berasal dari Yua’abah, Nasathirah, Najf, dan Hairah. Banyak juga diantara mereka yang masuk Islam. Unsur pembentuk ke tiga adalah unsur Nabthi. Mereka tinggal di kawasan yang terbentang dari Kufah hingga ke Bathaih di sebelah Selatan Irak. Banyak di antara mereka yang menganut agama Islam. Kemudian unsur Najran yang terdiri atas penduduk Yahudi dan Nasrani yang datang dari Yaman.
Kufah Sebagai Kubah Bagi Islam
Sebagai negeri Islam, sejarah Kufah dimulai dari peristiwa perang Badar saat Umar Ibn Khatab beserta 70 orang sahabat dan 300 orang lainnya bermalam di Kufah. Mereka menunjuk Amar Ibn Yasir sebagai amir dan Abdullah Ibn Mas’ud sebagai muazin dan menteri urusan keagamaan. DR. Mahdi al-Makhzumi dan Abu Abas berkata bahwa Kufah adalah cikal-bakal negeri sastra, dan wajah dari negeri Irak, puncak impian dan harapan, tempat bermukimnya para sahabat yang terpilih dan tempat orang-orang mulia. Sebagai kota perjuangan, Kufah menjadi pusat kepemimpinan umum bagi para pejuang Muslim di Irak. Sebagai penghadir khilafah Islamiyah pada masa kepemimpinan Ali R.A., Kufah merupakan kota yang beriman, markas besar Islam, perisai dan kekuasaan Tuhan yang dianugerahkan atas kehendak-Nya. Saai itu, Kufah menjadi inspirasi bagi para pejuang, pemuka agama, dan para pemerhati umat.
Mengenai sisa-sisa fanatisme terhadap Arab, hal ini terlihat dari banyaknya para pejuang yang datang dari Arab dan berperadaban ala Badui. Mereka hidup melajang, membangga-banggakan silsilah dan nasabnya, dan enggan berbaur dengan unsur-unsur lainnya. Maka dari itu,agar terjadi tenggang rasa, maka dihapuslah ungkapan yang mengatakan bahwa “tidak ada suatu hukum pun yang paling benar kecuali hukum Arab.

Kufah dan Studi Nahwu
Studi Nahwu di Kufah ini dimulai dari semakin ramainya dunia perniagaan yang dan saling bertemunya kebudayaan yang heterogen di dalamnya. Sebagai penghormatan terhadap hijrahnya para ahli bahasa dan para penyair ke negeri ini, tepatnya sejak khalifah Umar Ibn Khatab memerintah Amar Ibn Yasir sebagai pemimpin Kufah dengan Abdulah Ibn Mas’ud sebagai menterinya. Studi Nahwu dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Qur’an, hadist Nabi, Usul-Fiqh, dan pasal-pasal dalam hukum negara. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan terhadap riwayat-riwayat puisi dan studi sastra untuk memposisikan adat-istiadat kuno yang mereka bangga-banggaakan seperti al-Mufakhirah, al-Munafarah, al-Isyadah, dan sebagainya. Studi ini dipelopori oleh Ali Hamzah as-Sa’i dan kemudian diteruskan oleh muridnya, Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i.

Nahwu Mazhab Bashrah Sebagai Titik Tolak Bagi Nahwu Mazhab Kufah
Mayoritas pada ahli bahasa dan ahli Nahwu dari Kufah menstudi Nahwu mereka dengan mazhab Bashrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ru’asi mengikuti mazhab Abu Amru Ibn al-Ala’i dan Isa Ibn Umar dalam bermazhab Bashrah, dan Khalah Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i juga memanfaatkan mazhab keduanya dalam mempelajari Nahwu dan Shorf. Al-Kisa’i menganut mazhab Isa Ibn Umar, Khalil Ibn Ahmad, Yunus Ibn Habib, juga mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih.

Studi Nahwu Mazhab Kufah
Studi Nahwu di Kufah ini menggunakan titik-tolak pemikiran Sibawaih sebagai pemimpin dan senior bagi studi Nahwu mazhab Bashrah, yang kemudian jejaknya diikuti oleh muridnya, Sa’id Ibn Mas’adah. Sibawaih menjadikan al-Kisa’i sebagi guru bagi anak-anaknya. Dengan kematangan cara berpikirannya, ia mulai cenderung menciptakan studi Nahwu dengan mazhab Kufah, memberikan wahana yang sebesar-besarnya bagi berbagai perbedaan pendapat yang ada. Ia juga sering bertukar-pikiran dengan gurunya (Sibawaih) yang sangat ia kagumi. Tidak jarang al-Kisa’i juga tidak sepakat dengan Sibawaih dalam banyak hal. Namun, hal ini tidak menjadi masalah bagi para penstudi Nahwu dari Kufah yang bersepakat dengan al-Kisa’i dalam mendirikan mazhab atau madrasah Kufah ini.
Adapun ide-ide dan pemikiran Nahwu Sibawaih yang sedikit banyak dianut oleh Al-Kisa’i yaitu:
1. Diperbolehkannya menta’kidkan kata yang sebenarnya berhubungan, tetapi kata tersebut terhapus dalam penggunaannya dan digantikan oleh waw athf sebagai gantinya. Contoh: جاء الذى ضربت نفسه، أى: ضربته نفسه
2. Tambahan huruf jar منdalam perkataan/firman Allah SWT yang positif. Contoh: seperti firman Allah SWT:
و يغفر لكم من ذنو بكم، ولقد حاءك من نبإ المر سلين
3. Diperbolehkannya penggunaan kataإن setelah bertemu dengan kata ما. Contoh: إنما زيدا قائم
4. Bahwa لعل bermakna taqlil (minimal). Contoh: seperti firman Allah SWT فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخشى
5. Bahwa لولا terkadang juga bermakna هلا. Contoh: seperti firman Allah SWT فلو لا كانت قرية آمنت فنفعها إيمانها

Hal ini juga diikuti oleh al-Fara’i dalam kumpulan karyanya, yaitu antara lain:
1. Mengakhirkan Khabar apabila ia diawali dengan إن. Contoh:
إن العلم نور قول المشهور
2. Diperbolehkannya menggunakan ل ibtida bagi kata-kata نِعْمَ dan بِـئْسَ . Contoh: إن محمدا لنعم الرجل
3. Digunakannya إلا untuk sebagai pengganti و dalam perkataan maupun makna. Contoh: seperti firman Allah SWT:
لئلا يكون للناس عليكم حجة إلا الذين ظلموا منهم
4. Diperbolehkannya penggunaan “athf pada dua pernyataan yang berbeda di dalam ilmu nahwu. Contoh:
فى الدر زيد والحجرة عمرو؛ بعطف الحجرة على الدار، و عمرو على زيد dan lain-lain.

Contoh-contoh di atas adalah sebagian dari ide-ide dan pemikiran para ahli Nahwu mazhab Kufah yang diikuti oleh al-Akhfasy, selain al-Kisa’i dan al-Fara’i. Kemudian, Sibawaih pun mengumpulkan permaslahan-permasalahan yang ada di seputar pemikiran tentang Nahwu ini dengan kontribusi pemikiran dari al-Khalil dan menyusunnya menjadi sebuah buku yang dinamai dengan al-Masaail al-Kabiir. Orang-orang kemudian menjuluki Sibawaih ini sebagai pioneer pertama bagi Nahwu mazhab Kufah yang diadopsi dari Nahwu mazhab Bashrah.

GENERASI NAHWU MAZHAB KUFAH
Jelas bagi kita jika bahwasanya keterangan di awal telah menyebutkan bahwa berdirinya Nahwu mazhab Kufah adalah karena jasa Ali Ibn Hamzah al-Kasai beserta muridnya Yahya Ibn Ziyad al-Fara’i, dan bahwasanya promotor utama bagi pembentukan Nahwu mazhab Kufah ini adalah al-Akhfasy al-Ausath Said Ibn Mas’adah yang terinspirasi dari ide-ide dan pemikiran gurunya Sibawaih dan al-Khalil.

GENERASI PERTAMA
1. Mu’adz al-Hara’i
Nama aslinya adalah Abu Muslim Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i. Tinggal di Kufah dan mendalami Nahwu bersama anak dari saudaranya, yaitu ar-Ru’asi dan menyebarkan prinsip-prinsip Nahwu madzhab Bashrah. Di Kufah ini, ia bekerja sebagai pengajar nahwu bagi anak-anak Abd al-Malik Ibn Marwan. Ia sangat mahir dalam menguasai Nahwu dan Shorf. Menurut as-Suyuthi, orang pertama yang menyusun buku tentang tashrif adalah Mu’adz. Pendapat ini belum tentu benar karena pemikiran-pemikiran Muadz tidak begitu berpengaruh terhadap perkembangan tashrif bahasa Arab. Karya Mu’adz ini diadopsi dari kumpulan pengetahuan tentang nahwu dan sharf dari buku Masaa’il at-Tadriib. Sejak saat itu, tashrif mulai dikenal sebagai pengetahuan yang mandiri sejak abad ke-2 H ketika susunannya diperbaharui oleh Uthman Ibn Baqiyah al-Maziniy dalam kitab yaitu at-Tahsrif setelah sekian lama menjadi bagian dari studi Nahwu. Mu’adz wafat di Kufah pada tahun 187 H.


2. Ar-Ru’asi:
Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhamad Ibn al-Hasan. Dijuluki ar-Ru’asi karena ia mempunyai kepala yang besar. Ia dibesarkan di Kufah, datang ke Bashrah dan belajar kepada Isa Ibn Umar, Abu Amr Ibn al-‘Ala’i, dan kembali ke Kufah untuk mempelajari Nahwu bersama pamannya, Mu’adz al-Hara’i, selain belajar dari al-Kisa’i dan al-Fara’i. Ar-Ru’asi mengarang kitab Nahwu al-Faishal, yaitu kitab yang pertama kali muncul dan membahas tentang studi Nahwu madzhab Kufah. Ibn Nadim dan Ibn Anbari juga menyebutkan bahwa ar-Ru’asi ini memiliki banyak karya dalam ilmu Nahwu, diantaranya yaitu: al-Faishal, at-Tashghir, Ma’ani al-Qur’an, al-Waqf wal-Ibtidaa’, dan sebagainya. Ar-Ru’asi wafat di Kufah pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.
Kedua pendahulu nahwu mazhab Bashrah ini telah memberikan dasar-dasar pijakan yang relatif sangat kuat dalam pembelajaran Nahwu meskipun kecenderungan ini bermula dari pembelajaran mereka terhadap Nahwu mazhab Bashrah.

GENERASI KEDUA
1. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan “al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Ketika absent, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu, beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia).
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta.

Peran al-Kisa’i dalam Mendirikan Madrasah Kufah
Keseriusannya dalam mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad, Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas, dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah. Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan moment ini menjadi tonggak stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibahwaih), meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Karakterisitik generasi kedua:
a. pembahasan yang mendalam
b. menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan; membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi
c. berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah
d. penulisan dan pembukuan, seperti buku yang ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan lainnya.

GENERASI KETIGA
1. Al-Ahmar
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Hasan, tetapi terkenal dengan nama al-Ahmar. Beliau merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i. Wafat dalam pelaksanaan haji pada tahun 194 H. Disebutkan oleh Tsa’lab bahwa beliau hapal 40 ribu syahid (kutipan, contoh) tentang nahwu. Adapun karyanya: Maqayis at-Tashrif, Tafannun al-Balgha’i

2. Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah. Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari Gurunya
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya.

3. Hisyam adh-Dharir
Nama lengkapnya Abu Abdullah Hisyam ibn Mu’awiyah ad-Dharir yang wafat pada tahun 209, sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak disebutkan. Beliau juga merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i, yang kemudian mengabdikan dirinya dengan menjadi tutorial bagi murid-muridnya. Dengan karya tiga buku yaitu: al-Hudud, al-Mukhtashir dan al-Qiyash.

4. Al-Lihyaani
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali ibn Mubarak, sedangkan nama “al-lihyan” sebagai bentuk penghormatan terhadap lihyaan-nya (jenggot). Wafat pada tahun 220 H. Selain berguru kepada Al-Kisa’i, dia juga belajar kepada Abi Zayd, Abi Ubaidah dan lainnya.
Karakteristik generasi ketiga
a. Semakin maraknya penulisan baik dalam ilmu agama maupun ilmu bahasa
b. Dimulainya konsentrasi penulisan tentang Nahwu secara terpisah
c. Perhatian khusus terhadap kesalahan lisan secara umum dan upaya memperbaikinya
d. Lahirnya istilah-istilah Nahwu Kufah

GENERASI KEEMPAT
1. Ibnu Sa’dan
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan adh-Dharir. Lahir di Baghdad pada tahun 161 H, sedangkan tumbuh besar di Kufah. Kemudian meninggal dunia pada tahun 231 H, dengan menulis 1 buku Nahwu dan lainnya buku-buku mengenai Qira’at.

2. Ath-Thuwal
Beliau bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ath-Thuwal, dan tumbuh di Kufah. Wafat pada tahun 234 H. Belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. kemudian ke Baghdad dengan mengikuti majlis Qira’ah Abu Umar dan ad-Dauri

3. Ibnu Qadim
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah ibn Qadim. Wafat pada tahun 251 H. Ibnu Qadim mempelajari nahwu dari al-Fara, Tsa’lab. Adapun karya nahwunya adalah: al-Kaafi dan al-Mukhtashir.
Karakteristik generasi ini secara umum tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (ketiga), hanya sudah mulai mengenal sharaf.

GENERASI KELIMA
1.Tsa’lab
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karyanya:
a. Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing
b. Al-Fashih
c. Qawaaidu asy-Syi’ri
Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah:
a. Ikhtilafu an-Nahwiyiin
b. Ma Yansharifu wa ma laa yansharif
c. Haddu an-Nahwi

Karakteristiknya:
a. Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa, balaghah dan lainnya
b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar