Sabtu, 08 Oktober 2011

Muhammad Bin Abdul Wahhab


Muhammad Bin Abdul Wahhab 

Nasab, Kelahiran dan Perkembangan Beliau Rahimahullah 

Beliau adalah As Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman Bin ‘Ali Bin
Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid At Tamimi. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -
bertepatan dengan 1703 M- di negeri ‘Uyainah daerah yang terletak di utara kota Riyadh,
dimana keluarganya tinggal.
Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau Abdul Wahhab yang
menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Abdullah Bin Muhammad Bin Hamd Bin
Ma’mar. Kakek beliau, yakni Asy Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi
referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.
Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al
Qur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga
memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang
keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya
dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan
kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam
permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari
diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau.
Namun beliau tidaklah merasa cukup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun
pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas
terhadap ilmu.
Rihlah Beliau dalam Menuntut Ilmu
Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah:
•As Syaikh Abdullah Bin Ibrahim Bin Saif dari Alu (keluarga) Saif An Najdi.
Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih.
•As Syaikh Ibrahim Bin Abdillah putra Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim Bin Saif,
penulis kitab Al Adzbul Faidh Syarh Alfiyyah Al Faraidh.
•Asy Syaikh Muhaddits Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau mendapatkan
ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.
Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian
melanjutkan perjalanan ke negeri Al Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama
mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya
kepada para ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz ,
beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al
Ahsa’i.
Tidak cukup sampai disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada
waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari
mereka, khususnya Asy Syaikh Muhammad Al Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali
pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul
Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak
buku di Al Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah
yang besar.
Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul
ilmi dan ahlul hadits khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh
perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar
dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun
kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam.
Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah
besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau.
Setelah itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag
bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan.
Dakwah Beliau
Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan
yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan
kepada kuburan mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali
tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-
masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku
kesesatan-kesesatan tersebut.
Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang
menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri.
‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah
lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan
pun terjadi diantara mereka.
Melihat kondisi yang demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau
terhadap agama Allah Subahnahu Wata’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum
muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan ALlah Subhanahu
Wata’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta
menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau baik
dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.
Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik
dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid Bin
Al-Khattab yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan Asy Syaikh Muhammad Bin
Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir Al Ahsa’ akhirnya amir
‘Uyainah pun menghendaki agar Asy Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah
beliau menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan
guna melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca (Qur’an
surat Ath Thalaq:2-3 yang artinya -red):
"Barang siapa yang bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki
dari arah yang tiada disangka-sangka"(Ath Thalaq:2-3)
Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang
bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan
keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling
memperingatkan untuk berhati-hati dengan syaikh. Maka beliau (Syaikh -red) pun
menenangkannya dengan mengatakan, "Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya.
Bertawakallah kepada Allah Subahahu Wata’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-
orang yang membela agamanya."
Berita kedatangan Asy Syaikh diketahui seorang shalihah, istri amir Dir’iyyah,
Muhammad Bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini
karena beliau adalah nikmat dari Allah Subahahu Wata’ala yang dikaruniakan
kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha
menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan
terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, "(Tunggu) beliau datang
kepadaku". Istrinya menimpali "Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda
mengirim utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan
mengatakan bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda
sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi
anda."
Sang amir akhirnya mendatangi Asy Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan
perihal kedatangannya. Asy Syaikh Rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau
hanya mengemban dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA
ILAHA ILLALLAH. Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa
itulah aqidah para Rasul. Sang amir mengatakan, "Bergembiralah dengan pembelaan dan
dukungan". Asy Syaikh rahimahullah menimpali, "Berbahagialah dengan kemuliaan dan
kekokohan. Karena barang siapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH ini,
pasti Allah akan memberikan kekokohan kepadanya." Sang amir menjawab, "Tapi saya
punya satu syarat kepada anda." Beliau bertanya, "Apa itu?" Sang amir menjawab, "Anda
membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia." Jawab Asy Syaikh rahimahullah,
"Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kecukupan kepada anda dari
semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk anda." Kemudian
keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy Syaikh berdakwah dan sang amir
melindungi dan membelanya, sehingga para Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-
duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga
qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di Dir’iyyah.
Kemudian Asy Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka
kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima
dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun
diperangi oleh tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad Bin Su’ud dengan
bimbingan dari beliau rahimahullah. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di
daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan
Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan.
Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di perbatasan
Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya dibawah
kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.
Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan
kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah
negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang
merupakan dakwah para Rasul.

Karya-karya Beliau 

Karya beliau sangat banyak, diantaranya:
Kitab Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid
Al Ushul Ats Tsalatsah
Kasfusy Syubhat
Mukhtasar Sirah Rasul
Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya
Wafat Beliau
Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Allah Subhanahu Wata’la melimpahkan
rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang
luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya
Robbal ‘Alamin.
Disarikan dari Syarh Ushul TsalatsahAsy Syaikh Muhammad Bin Salih Al Utsaimin, hal
5dan Syarh Kasyfusy SyubhatAsy Syaikh Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan,
hal 3-12
Sumber: Majalah Asy SyariahVol II/No 21/1427 H/2006halaman 71-73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar