Sabtu, 08 Oktober 2011

IMAM MALIK

Islam adalah agama yang Allah Subhanallahuwata’ala ridhai. Di antara bentuk keridhaan-Nya adalah menjaga agama Islam ini dari kepunahan dan kerusakan. Satu di antara bentuk penjagaan itu adalah dengan memunculkan para ulama sebagai penerus dan pewaris Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dalam rangka menyampaikan risalah suci kepada manusia, membela dan mempertahankannya dari gangguan ‘tangan-tangan’ musuh islam dan muslimin, yang tidak senang dengan langgengnya kemurnian Islam. Baik dari orang-orang kafir, kaum munafik, ahli bid’ah atau siapa saja yang serupa dan mengikuti jejak mereka. Banyak sekali ulama Islam yang muncul setelah masa kenabian, dan salah satunya adalah yang ingin kami hadirkan kehadapan para pembaca guna mengambil pelajaran dan ibrah dari perjalanan hidupnya. Dia adalah salah satu dari empat imam dari generasi ketiga yang tentu tidak asing lagi di telinga kita.  
NASAB DAN PERTUMBUHANNYA 
Ia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al-Ashbahi1 Al-Himyari2 Al-Madani3. Ibunya bernama ‘Aliyah binti Syuraik Al-Azdiyah.Imam Darul Hijrah adalah gelar yang disandangnya, dengan kun-yah Abu Abdillah.Ia terlahir di kota Madinah pada tahun 93 H4 (ada pula yang mengatakan 94 H). Tahun itu kaum muslimin berkabung karena wafatnya Anas bin Malik An-Najjari Al-Anshari Radhiyallahu’anhu. Tanda-tanda keluarbiasaannya telah tampak sejak ia berada dalam kandungan, karena tak seperti bayi yang lain, ia berada dalam kandungan ibunya selama tiga tahun.5 Pada masa pertumbuhannya, Malik bin Anas hidup dalam lingkungan yang terjaga, penuh suasana bahagia dan keindahan. Ia mulai menuntut ilmu pada usianya yang belia. Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menimba ilmu dari ulama generasi tabi’in yang masih ada saat itu6 seperti Nafi’ maula Ibnu Umar, Sa’id Al-Maqburi, ‘Amir bin Abdullah bin Az-Zubair bin al-‘Awwam, Muhammad bin Al-Munkadir, Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, Ayub As-Sikhtiyani, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq, Humaid Ath-Thawil, Rabi’ah Ar-Ra’y, Zaid bin Aslam, Salamah bin Dinar, Shalih bin Kaisan, Abi Zinad Abdullah bin Dzakwan, ‘Atha’ Al-Khurasani, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id Al-Anshari dan masih banyak lagi yang lainnya dari generasi tabi’in. Begitu pula ia mengambil ilmu dari teman-teman seangkatannya dari para atba’ tabi’in yang sama-sama menuntut ilmu. Sehingga bila dihitung jumlah semua orang yang pernah ia ambil ilmunya adalah sekitar 1400 orang. Begitu banyak guru yang mengajarnya, sehingga tidaklah mengherankan bila kemudian ia menjadi sosok seorang alim sejati yang pada usia dua puluh satu tahun sudah bisa berfatwa. Usia yang masih relatif muda untuk ukuran seorang alim pada zamannya. Bahkan ia menjadi seorang imam dalam bidang hadits di kota kelahirannya, Madinah, kota Nabi Shallallahu’alaihiwasallam; kota tempat kaum muslimin berhijrahpada awal perjuangan Islam. Karena itulah ia digelari Imam Darul Hijrah. Selain sebagai seorang ahli dalam bidang hadits, ia juga adalah seorang yang fakih di masanya. Ijtihad dan pendapat-pendapatnya kemudian dijadikan pegangan oleh banyak kaum muslimin dan dijadikan sebagai suatu mazhab yang dianut sampai saat ini.  
ILMU IMAM MALIK 
Karena keluasan ilmu hadits dan fikih yang dimilikinya, banyak orang yang duduk mengambil faedah dan berguru kepadanya. Bahkan diantara mereka turut menimba ilmu darinya guru-gurunya sendiri seperti pamannya sendiri Abu Suhail, yahya bin Abi Katsir, Az-Zuhri, Yahya bin Al-Had, Zaid bin Abi Unaisah, Umar bin Muhammad bin Zaid, dan lainnya. Banyak pula teman-teman sebayanya yang menimba ilmu darinya seperti Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, Al Auza’i, Syu’bah, Sufyan Ats Tsauri, Al Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, dan yang lainnya. Belum lagi murid-murid yang tingkatannya di bawah beliau seperti Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Al-Mubarak, Ad-darawardi, Ibnu Ulayyah, Muhammad bin Al-Hasan Al-Faqih7, Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah bin Wahb, Waqi’, Yahya al-Qaththan, Abu Hudzafah8, dan salah satunya adalah imam yang masyhur di antara imam yang empat, yaitu Imam As-Syafi’i – rahimahullah- , serta masih banyak lagi yang lain yang datang dari berbagai penjuru negeri di masa khalifah Abu Ja’far Al Manshur, terlebih lagi pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid. 
Imam An-Nasa’i berkata, “Aku tidak punya orang setelah generasi tabi’in yang lebih pandai, mulia, tsiqah, dan terpercaya dalam hadits, selain Malik.”  
PUJIAN PARA ULAMA TERHADAPNYA 
Pujian demi pujian terlayangkan kepadanya, baik dari para ulama sezamannya maupun yang dating setelahnya. Di antara pujian tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Uyainah tatkala menafsirkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu yang berbunyi,
Nanti, akan keluar orang-orang dari arah timur dan barat demi menuntut ilmu, lalu mereka tidak menjumpai seorang pun yang lebih alim daripada alimnya kota Madinah. 
Ibnu Uyainah berkata, “Dahulu aku katakan yang dimaksud (dengan ‘alimnya kota Madinah’) dalam hadits tersebut adalah Sa’id bin Al-Musayyab, tetapi bukankah di zamannya masih ada Sulaiman bin Yassar, Salim bin Abdullah, dan yang lainnya? Maka sekarang saya katakan bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah Malik bin Anas, karena tidak ada alim lain yang menandinginya (saat itu).” Di lain waktu Ibnu Uyainah juga berkata, “Malik adalah alimnya penduduk Hijaz, dan ia adalah hujjah di zamannya.” Imam Asy-Safi’i menyambungnya seraya berkata, ”Hal itu benar, dan bila ulama disebut-sebut, maka Malik-lah bintangnya.” Imam An-Nasa’i berkata,”Aku tidak punya orang setelah generasi tabi’in yang lebih pandai, mulia, tsiqah, dan terpercaya dalam hadits, selain Malik.” Ibnu Hibban berkata, “Malik adalah orang yang pertama yang memilah-milah para perawi dari kalangan fuqaha di Madinah.” Yahya bin sa’id Al-Anshari, ketika ditunjuk oleh Amirul Mukminin Abu Ja’far Al-Manshur untuk menjadi qadhi, pernah meminta kepada Malik agar menuliskan untuknya seratus hadits ketika ia hendak pergi ke Irak. Dan Abu Ja’far sendiri sering bertanya kepadanya tentang halal dan haram, sampai suatu saat ia berkata kepada Malik, “Demi Allah. Engkau adalah orang yang paling pandai dan alim.” Malik menjawab, “Demi Allah, tidak demikian, wahai Amirul Mukminin”. Abu Ja’far berkata, “Betul! Hanya saja engkau menyembunyikannya.” Lalu kata Abu Ja’far lagi,”Demi Allah, sungguh saya akan menulis perkataanmu sebagaimana ditulisnya mushaf-mushaf (Al-Qur’an) demi kebaikan kita dan disebar ke berbagai pelosok negeri.” Meskipun banyak pujian yang terarah kepada beliau dari para ulama di zamannya, beliau tetap menunjukkan sikap tawaddhu (rendah hati) dan tidak ingin dilebih-lebihkan sebagaiman ungkapan beliau,”Tidaklah aku ini melainkan seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar. Karena itu, lihatlah pendapatku, apa saja yang sesuai Sunnah, maka ambillah.” 
Pada suatu saat datanglah masa ujian dan cobaan bagi Imam Malik. Begini ceritanya. Abu Ja’far Al-Manshur pernah melarang Malik menyampaikan hadits: “Seorang yang dipaksa (mentalak istrinya), tidak jatuh talaknya” dan berfatwa tentangnya. Kemudian ada seseorang yang ingin ‘memancing di air keruh’ bertanya kepada Imam Malik perihal hadits tersebut. Sang Imam pun akhirnya menyampaikannya di hadapan khalayak, yang menunjukkan beliau tidak membenarkan talak orang yang dipaksa. Mendengar hal itu Abu Ja’far marah, lalu ia pun memerintahkan Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah saat itu, untuk mencambuk Malik. Maka dicambuklah beliau sebanyak 70 kali hingga lumpuh separuh kedua tangannya. Namun begitu Imam Malik tetap teguh dan bersabar. Beliau mengusap darah di punggungnya lalu masuk ke dalam masjid dan shalat. Setelah itu dia berkata,”Seperti inilah yang dilakukan oleh Sa’id bin Al-Musayyib ketika dahulu dicambuk. ”Demikianlah, ujian dan cobaan tidak dapat terlepas dari kehidupan setiap mukmin, apalagi seorang alim yang berjalan mengikuti jejak para nabi dan rasul.  
KETEGUHANNYA DI ATAS SUNNAH DAN AQIDAH 
Banyak kalimat dan atsar dari beliau yang menunjukkan beliau adalah seorang imam pembela aqidah dan sunnah, serta memerangi bid’ah dan para pelakunya. Di antaranya, beliau pernah berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan para pemimpin setelahnya (Khulafa’ Rasyidun) telah menetapkan sunnah-sunnah. Menjalankannya berarti mengikuti Kitabullah yang merupakan bentuk ketaatan sempurna  kepada Allah dan keteguhan di atas agama-Nya. Siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk, maka akan diberi petunjuk, dan siapapun yang mencari pertolongan dengannya, niscaya dia akan ditolong. Sebaliknya, barangsiapa yang meninggalkan jalan kaum mukminin (yakni para sahabat Nabi Shallallhu’alaihiwasallam) maka Allah akan memalingkannya kearah mana dia berpaling, lalu memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali –wal ‘iyadzu billah –“. Asy-Syafi’i menceritakan bahwa Imam Malik pernah didatangi oleh sebagian ahli bid’ah lalu beliau berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku berada di atas petunjuk agamaku, adapun kamu pergilah kepada orang yang ragu sepertimu, “lalu beliau pun membantah mereka. Imam Malik pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk?” Beliau menjawab, “Dia itu seorang zindiq (kafir), maka bunuhlah.” Di lain waktu beliau mengatakan, “Al-Qur’an itu kalamullah. Kalamullah adalah bagian dari (Dzat dan sifat) Allah, dan tidak ada satupun dari (sifat dan dzat) Allah yang dikatakan makhluk.” Beliau juga pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, jawab beliau, :Saya berpendapat bahwa mereka harus diminta bertaubat, (maka diterima taubatnya), sedang jika tidak, maka dibunuh.” Pernah ada seseorang datang kepada Imam Malik membaca Firman Allah Subhanahu wata’ala:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Allah beristiwa’9 di atas ‘Arsy.(Q.S. Thaha:5)
 Kemudian orang itu bertanya, “Bagaimana istiwa’ Allah itu?” Imam Malik marah sampai berkeringat dan mengetuk-ngetuk tongkatnya ke tanah seraya berkata, “istiwa’ itu sama diketahui maknanya (dalam bahasa Arab). Adapun hakekatnya, tidaklah diketahui. Mengimaninya wajib, dan bertanya ‘bagaimananya’ adalah bid’ah. Dan saya kira kamu ini seorang ahli bid’ah.” Beliau lalu meminta agar orang itu dikeluarkan dari majelisnya. Dalam riwayat lain beliau menjawab, “Allah ber-istiwa’ sebagaimana yang Ia sifati sendiri untuk diri-Nya, tidak boleh ditanya bagaimananya.” Beliau juga mengatakan, “Allah itu di atas langit, dan ilmunya ada di segala tempat. Tiada satupun yang terluput dari pengetahuan-Nya.” Demikianlah kalimat-kalimatnya yang tegas dalam memegang Sunnah dan aqidah yang lurus, serta memerangi bid’ah dan para pelakunya.  
WAFATNYA 
Beliau wafat pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 86 tahun. Jenazahnya dishalati oleh Gubernur Madinah saat itu, Abdullah bin Muhammad al-Abbasi al-Hasyimi, lalu dimakamkan di pemakaman Baqi’. 
KARYA-KARYANYA 
Imam Malik meninggalkan karya-karya yang sangat berharga dan tinggi nilainya bagi kaum muslimin, di antaranya yang paling terkenal dan menjadi salah satu kitab induk dalam merujuk hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihiwasallam yaitu kita Al-Muwaththa’. Di samping itu, karya-karya beliau yang lain seperti Risalah fil Qadar, Risalah fil Aqdhiyah, Juz’fit Tafsir, Kitab as-Sir, dan lainnya. Belum lagi fatwa-fatwa dan jawaban-jawaban beliau terhadap berbagai permasalahan agama yang termuat dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra  yang beliau susun sendiri, dan fatwa-fatwa beliau dalam kitab  At-Tamhid  yang disusun oleh Ibnu Abdil Bar. Sebelum wafat, beliau sempat membaca potongan ayat ke-4 dalam Surat Ar-Rum:
… لِلَّهِ الْأَمْرُ مِن قَبْلُ وَمِن بَعْدُ …
Bagi Allah-lah segala urusan sebelum dan sesudah (terjadinya)” 
Itu menunjukkan keridhaan beliau dengan takdir Allah, karena ajal adalah bagian dari takdir-Nya. Rahimahullahu rahmatan wasi’ah wa jazahu ‘anil Islam wal muslimin khairal jaza’.-Wallahu a’lam- 
Referensi:
  1. Siyar A’lam An-Nubala’ karya Adz Dzahabi.
  2. Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar
  3. Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban.
  4. Kitab-kitab lain tentang rihal dan biografi ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar